Sabtu, 29 Desember 2012

Kisah Hidup



Untuk sekarang di tahun 2012 saya masih mahasiswa Jurusan Teknik Informatika , yang lahir di Jakarta, 26 tahun yang lalu akan tetapi saya di besarkan di kota kembang ( Bandung ) mulai dari umur saya 1 tahun sampai dengan lulus SMA.

Setelah saya lulus SMA dengan nilai yang cukup baik, " ia walaupun tidak sebagus yang orang tua saya harapkan,... " berangkat kembali ke jakarta, mungkin bisa di bilang pulang kampung karena kembali dimana saya di lahirkan, saya coba mendaftar UMPTN akan tetapi mungkin ada beberapa hal yang tidak membuat saya lulus test, karena tidak lulus saya pun mengambil study program satu tahun di akademi swasta untuk mengisi kekosongan saya di jakarta selama kurang lebih dua tahun dan akhirnya saya pun dapat menyelesaikan program satu tahun tersebut dengan IPK yang cukup bagus.

Awalnya setelah selesai menyelesaikan program tersebut saya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih baik akan tetapi keadaan tidak seperti yang aku harapkan. Sebagai penyemangat saya pun mengurungkan niat baik itu, dengan bekerja di perusahaan swasta sebagai penyambung nyawa dan untuk hidup di jakarta yang katanya " jakarta lebih kejam dari ibu tiri ", mungkin benar, tapi tidak sepenuhnya seperti itu.

Tapi menurut saya, setiap orang yang berusaha dengan itikad baik pasti ada jalan selama di balik itu semua ada kebaikan, mungkin seperti saya yang saat ini masih bisa berdiri dan berkarya di ibu kota jakarta yang banyak orang bilang jakarta seperti ibu tiri ( kejam ).

Selama kurang lebih hampir 10 tahun di jakarta meskipun berpindah - pindah kerja, dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain sampai perusahaan tempat saya saat ini bekerja dengan tujuan ingin mewujudkan keinginan saya yang dulu tertunda untuk melanjutkan study saya agar dapat bisa lebih baik, sebagai usaha memperbaiki diri khususnya di bidang pengetahuan dan untuk memperbaiki diri di bidang ilmu pengetahuan, daya fikir beserta skill saya dan semoga semua nya bisa seperti yang saya harapkan. Amin.....

Jumat, 28 Desember 2012

Sejarah Bahasa Indonesia

1) Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka
Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara dan sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan-peninggalan misalnya:
1.      Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380
2.      Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
3.      Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
4.      Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
5.      Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.
Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
1.      Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
2.      Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
3.      Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
Bahasa resmi kerajaan.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
2) Perkembangan Bahasa Indonesia Sesudah Merdeka
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar:
1.      Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
2.      Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
3.      Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ikrar para pemuda ini di kenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia di nyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 di sebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa indonesia di pakai oleh berbagai lapisan masyarakat indonesia.
Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu-Riau dari abad ke-19.
Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.
Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan.
Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.
Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
1.      Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
2.      Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3.      Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
4.      Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
2. Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Negara beserta fungsinya

Sebagai Bahasa Nasioanal

Tanggal 28 Oktober 1928, pada hari “Sumpah Pemuda” lebih tepatnya, Dinyatakan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional memilki fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
adapun penjelasanya : 

1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakan nya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda. Yang bunyinya sebagai berikut :
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe, Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia, dll yang harus bisa menggunakan Bahasa Inggris.

3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
4.Bahasa Indonesia sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya. 
Agar semua bangsa indonesia memiliki bahasa pemersatu dalam berkomunikasi walaupun berbeda - beda asal,suku,ras dan adat

Sebagai Bahasa Negara

Dalam UUD 1945 bab XV, pasal 36, telah ditetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara. Dengan demikian, selain berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pada tanggal 25-28 Februari 1975, Hasil perumusan seminar polotik bahasa Nasional yang diselenggarakan di jakarta. berikut fungsi dan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah :

1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.

adapun penjelasanya : 

1. Bahasa resmi kenegaraan
Dalam kaitannya dengan fungsi ini bahasa Indonesia dipergunakan dalam adminstrasi kenegaraan, upacara atau peristiwa kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan, komunikasi timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat. Dokumen-dokumen dan keputusankeputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemeritah dan badanbadan kenegaraan lain seperti DPR dan MPR ditulis di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan di dalam bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan pemakaian bahasa Indonesia oleh warga masyarakat kita di dalam hubungannya dengan upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan.
Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan sebaikbaiknya, pemakaian bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan adminstrasi pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-khusus
baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dipergunakan dilembaga-lembaga pendidikan baik formal atau nonformal, dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Masalah pemakaian bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar di segala jenis dan tingkat pendidikan di seluruh Indonesia, menurut Suhendar dan Supinah (1997), masih merupakan masalah yang meminta perhatian.
3. Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat luas atau antar suku, tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang keadaan sosial budaya dan bahasanya sama.
4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi
Dalam kaitan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan bahasa daerah. Dalam pada itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian pelajaran, penulisan buku atau penerjemahan, dilakukan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian masyarakat bangsa kita tidak
tergantung sepenuhnya kepada bangsa-bangsa asing di dalam usahanya untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta untuk ikut serta dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terkait dengan hal itu, Suhendar dan Supinah (1997) mengemukakan bahwa bahasa Indonesia adalah atu-satunya alat yang memungkinkan kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah.

3.KESIMPULAN
1.      Bahasa Indonesia dinyatakan lahir pada 28 Oktober 1928
2.      Adanya bulan bahasa di bulan Oktober
3.      Awalnya dari bahasa Melayu
4.      Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional adalah :
1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa.
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
4. Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat  istiadat dan Budaya.
5.      Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara adalah :
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.

Ludwig Wittgenstein

Biografi Ludwig Wittgenstein

Ludwig Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
1.1    Wittgenstein I dan Bahasa Logika

            Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?

            Pertama, proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.”Begitu prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna” (dan itulah yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).

            Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian antara struktur bahasadengan struktur realitas. 

   Kedua, fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi(kesesuaian), Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa (proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas haruslah dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan pengertian yang jelas. 

            Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna, agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai suatu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas). 

            Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung obyek realitas yang diperbincangkannya (semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah ungkapan filsafat (proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya menggambarkan dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu.

            Untuk lebih detail memahami karakter Wittgenstein I ini, bahasa logika itu, penting sekali untuk melihat tiga aspek mendasar yang dituliskan Wittgenstein dalam Tractatus itu:

            Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
“Fungsi Teori Gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita bisa saja membalik arti kiasannya (analogi), dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.”

Dari paparan Wright tersebut, bisa dipahami bahwa kata kunci dalam Teori Gambar Wittgenstein adalah tentang hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu peristiwa. Adanya prinsip “kesesuaian” antara “unsur-unsur gambar” (inilah proposisi) dengan “unsur-unsur realitas” (makna yang ditunjuk proposisi atau realitas) menjadi syarat mutlak kebermaknaan sebuah ungkapanfilsafat..

            Kedua, atomisme logis. Untuk memahami konsep atomisme logis Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu merupakan satu bagian dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari keberadaan dinding, jendela, kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap bagian atau obyek yang membentuk bangunan rumah itu saling berhubungan, memiliki interralasi. Maka memahami rumah sebagai sebuah realitas bukanlah terletak pada berapa obyek yang menopangnya, tapi bagaimana obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan keadaan hubungan kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh Wittgenstein, atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi elementer”. Pintu, dalam ilustrasi tersebut,adalahfaktaatomis.

            Demikian pula dalam memahami dunia ini. Menurut Wittgenstein, dunia ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis. Maka, akhirnya, bagi Wittgenstein, menguraikan bagaimana fakta-fakta atomis itu ada, berhubungan, dan membangun sebuah realitas atau keadaan harus dilakukan dengan struktur logika. Koherensi antara proposisi elementer (fakta atomis) dengan sebuah peristiwa, keadaan, atau realitas hanya bisa dijelaskan dengan nalar logis yang terang pula.

            Ketiga, konsep formal dan konsep nyata. Pembeda paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Dalam bahasa lain, bisa dinyatakan, konsep nyata berada di dalam tubuh konsep formal dan konsep formal baru akan terpahami jika dirasuki oleh konsep-konsep nyata. Jadi, jika konsep formal bisa berubah-ubah sesuai dengan kandungan konsep nyata yang memasukinya, sementara konsep nyata secara otomatis menunjuk pada suatu kondisi atau fakta realitas yang jelas arahnya.

            Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu termasuk konsep formal atau konsep nyata ialah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Apakah kita bisa memahami ungkapan itu untuk mengiyakan atau menolaknya.” Jika kita bisa memahaminya tanpa perlu verifikasi, maka itulah konsep nyata. Sebaliknya, jika kita tidak mampu memahaminya tanpa verifikasi, maka itulah konsep formal.

Contoh yang bisa menjelaskan ini bisa diperhatikan ilustrasi berikut:
“Di pojok sana, ada beberapa buku.” Mendengar kalimat ini, kita akan dengan mudah langsung mendapatkan makna (proposisi) terhadap buku (realitas). Tanpa perlu melakukan verifikasi, kita langsung mengerti bahwa buku adalah sebuah obyek dengan ciri begini dan begini yang nyata wujudnya. Inilah yang dimaksud konsep nyata.

Bandingkan
dengan ilustrasi berikut:

“Perhatikan obyek-obyek tersebut.” Mendengar kalimat ini, kita tidak bisa langsung mengambil makna kalimat tersebut, lantaran kata “obyek-obyek” tidak bisa dinyatakan langsung dalam realitas. Inilah ciri dasar konsep formal. Kita baru akan bisa memahami apa yang dimaksud dengan kata “obyek-obyek” jika kemudian kalimat tersebut dilanjutkan dengan: “Ada buku, rokok, korek, HP, dan kopi”. Kalimat kedua ini adalah konsep nyata yang mengisi obyek-obyek itu dan kita bisa langsung memahami maknanya dalam kenyataan. Tapi makna konsep formal itu pun akan berubah jika kalimat penerusnya adalah: “Ada bartender, home band, LCD, AC, blower, meja, kursi, dan senyum manis waitress.” Kalimat penerus ini adalah konsep nyata yang mengisi konsep formal pertama, sehingga maknanya pun akan berubah. 

Itulah sebabnya konsep formal sering dinyatakan sebagai “kandungan nilai nominal”, sementara konsep nyata adalah “kandungan nilai intrinsik”. 
1.2    Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)

              Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”

Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.

1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).

            Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas. Fakta bahwa sangat banyak lalu-lintas bahasa dalam kehidupan nyata sehari-hari, yang menghasilkan makna-makna yang sangat beragam bahkan terhadap satu kata atau proposisi, memperlihatkan betapa bahasa logika tidak mampu menjawab keinginan dasar filsafat analitika untuk mengentaskan kerancuan makna bahasa. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari ini menganut prinsip bahwa makna kata ditentukan oleh penggunaannya.

            Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas).

            Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya,yang memproduksi keragaman makna nyata. 

Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan da-lamtigaprinsipsekaligus:

Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan  kea-daan faktualnya (state of affairs).
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.

Ketiga, setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, mes kipun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.

2. Tata permainan bahasa (language game).

Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:

“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur. Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan permainan…”

Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya. 

“Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainanbahasa(languagegame).

Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya.Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pulasebaliknya. 

Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.

Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”

“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.

Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.

Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai politik”.Danseterusnya.
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.

Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.

            Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.

Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya. Kondisi ini sama persis dengan pentingnya untuk mengikuti tata aturan permainan bola saat kita bermain bola, agar permainan bola itu berjalan dengan terang dan baik, seperti tata aturan handball, corner, tendangan bebas, pinalti, lemparan ke dalam, teckling. Atau tata aturan permianan dalam race MotoGP, seperti through by thrue, jumping start, latest breaking, racing line, kualifikasi, lap, paddock, safety car, bendera putih, marshall,dll.

Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya. 

Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Pertama, pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak  sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.

Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalamkemajemukan.

Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.

Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.

Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya. 

Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.

1.3    Beberapa Kritik terhadap Wittgenstein 

Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.

Pertama, peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk
membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari. 

Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku sesuai disiplinnya, maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa.

Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan
bahasa biasa.

Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada.
 “Pemahaman” (atau “mengerti”) harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti” cara berada manusia sendiri. Itulah sebabnya makna sebuah kata atau bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri; kata-kata selalu mengandung makna yang penuh;[ dan merupakan makna utuh Being yang membangunnya.

Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.

Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya. Tentu saja, konsep language game dalam contoh ini tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana cara memaknai konteks penggunaan tiga istilah Soros itu. Karena makna dasar yang dituju oleh Soros sama sekali tidak berkaitan dengan bahasa biasa dan penggunaannya dalam tata permainan sehari-hari, tetapi menuju kepada “masa depan” panjang kapitalsime globalnya.
Ketiga, sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks. 

Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur,teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture.Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.

Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri.Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda. Pada gilirannya, pemikiran ini meniscayakan pluralisme produksi makna teks. 

Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat penting dalam pemikirannya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks) dan the act of saying (cara teks mengungkapkannya).
 Kata kunci pertama, what is said, adalah meaning yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan menjadi begitu otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu saja sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya.
Pada level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang dituliskannya pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang niscaya akan terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri (penulisnya).

Sementara the act of saying adalah bagaimana proses teks menyingkapkan makna dirinya kepada pembaca dalam sebuah event interpretasi, seperti peristiwa hermeneutis fusion of horizons, yang dengan metodologi tersebut terjalin kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dengan pembacanya di sisi lain. Proses “teks membuka diri” dalam menyatakan kandungan maknanya kepada setiap pembacanya (the act of saying) membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya” kepada teks, yang kemudian dari event hermeneutis itu, lahirlah produksi-produksi makna.

Sampai di sini, bila dibandingkan dengan teori interpretasi teks Ricouer tersebut, apa yang bisa kita lakukan untuk memahami sebuah teks, apalagi teks suci, dengan berpegang pada filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein? 

Bagaimana, misalnya, kita mampu membedakan sebuah istilah atau ungkapan teks itu bersifat formal atau tidak, memiliki keumuman makna tetapi berbeda konteks penggunaannya atau tidak, hingga bersandar pada language game (konteks penggunaan) apa yang tidak kita alami langsung proses penyampaiannya?

Mari coba kita terapkan dua teori ini pada kata “qawwamun” dalam ayat al-Qur’an. Dalam ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ bima faddalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin…” itu, kata “qawwamun” bila dikaitkan dengan konteks historisnya, language game ala Wittgenstein, bisa dipahami menunjuk pada situasi kultur patriarkal Arab saat itu. Tetapi, ketika ayat tersebut dibawa ke kehidupan hari ini, misalnya Indonesia yang lebih terbuka dalam soal gender ini, bagaimana kita memahami kata “qawwamun” tersebut? Haruskah pemimpin itu bergender laki-laki? Bagaimana bila ternyata ada perempuan yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat (leadership) dan diterima oleh masyarakat Indonesia untuk menjadi pemimpinnya? Apakah ini berarti bahwa seluruh rakyat muslim Indonesia melanggar makna otentik ayat tersebut, yang karenanya layak diklaim ingkar al-Qur’an dan berdosa besar?

Filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein tidak mampu memproduksi pemahaman logis apa pun terhadap ayat tersebut jika ayat tersebut semata disekatkan pada konteks penggunaannya (historisitasnya) yang patriarchal khas Arab masa itu. Tetapi ayat tersebut akan sangat jauh berbeda produksi penafsirannya bila didekati dengan teori hermeneutika Ricoeur tersebut, misalnya. 

Demikianlah. Meski penulis kurang setuju terhadap pemikiran Ricouer dalam hal penegasian pentingnya melibatkan pengetahuan latar psikologis dan antropologis dalam menafsirkan ayat-ayat suci itu (seperti ilmu asbabun nuzul dan asbabul wurud agar teks suci tidak kehilangan konteks asli historisitasnya), pemikiran hermeneutis Ricouer (terutama tentang discourse, event, meaning, what is said, dan the act of saying) sangat berharga untuk dijadikan metodologi interpretasi teks. Ini sangat jauh berbeda dengan pemikiran Wittgenstein tentang bahasa logika, bahasa biasa, dan language game yang gagap untuk digunakan sebagai metodologi interpretasi teks.

Agaknya, dengan uraian komparatif dan pembuktian tersebut, pemikiran Wittgenstein hanya cocok digunakan untuk memahami makna bahasa dalam komunikasi langsung (lisan), bukan dalam teks.
1.4   Hakikat bahasa menurut Ludwig Wittgenstein
Bahasa tidak saja digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis tetapi juga digunakan dalam dan untuk berbagai hal yang berbeda-beda. Dari segi pragmatik, Wittgenstein memastikan bahwa terdapat keranekaragaman bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa yang menyulitkan upaya untuk mengasalkan berbagai keanekaragaman ini pada satu kriteria tertentu.
Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada asumsi Wittgenstein tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup. Karena itu Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan dalam penggunaan bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki aturan tata bahasa tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah penyelidikan gramatikal (Gramamatical Investigations). Ia menjelaskan bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah klarifikasi gramatikal terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk memperlihatkan adanya suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis bahasa. Tujuan yang hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter pada tiap ragam penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan menempatkan bahasa dalam komponen-komponen yang terspesifikasi itu, pemahaman akan bahasa yang disampaikan menjadi jelas. Singkatnya penyelidikan gramatikal merupakan metode untuk mendapatkan kejelasan makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Apa yang dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini tidak hanya merupakan bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana tulisan.
2.4.1 Ciri – ciri bahasa
Sifat atau ciri – ciri bahasa, antara lain adalah :
1. Bahasa adalah sebuah sistem
2. Bahasa berwujud lambang
3. Bahasa berupa bunyi
4. Bahasa bersifat arbiter
5. Bahasa itu bermakna
6. Bahasa bersifat konvensional
7. Bahasa bersifat unik
8. Bahasa bersifat universal
9. Bahasa itu bervariasi
10. Bahasa bersifat produktif
11. Bahasa bersifat dinamis
12. Bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13. Bahasa merupakan identitas penuturnya
1. Bahasa sebagai system
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan sistemis, artinya, bahasas itu tersusun menurut suatu pola: tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-sub sistem; atau sistem bawahan. Di sini dapat disebutkan, antara lain, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Tiap unsur dalam setiap subsistem juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi.
Sub sistem bahasa terutama subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis tersusun secara hierarkial. Artinya, subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang lain ini terletak pula di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantic. Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliputi subsistem semantic, berada di luar ketiga subsistem struktural itu.
2.Bahasa sebagai lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Fendinand de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu, antara lain tanda (sign), lambing (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda selain dipakai sebagai istilah generic dari semua yang termasuk kajian semiotika juga sebagai salah satu dari unsur spesifik kajian semiotika itu, adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Misalnya, kalau di kejauhan tampak ada asap membumbung tinggi, maka kita tahu bahwa di sana pasti ada api, sebab asap merupakan tanda akan adanya api itu.
Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambing menandai sesuatu yang lain secarakonvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Karena itu lambang sering disebut bersifat arbiter, sebaliknya, tanda serperti yang sudah dibicarakan di atas, tidak bersifat arbiter. Yang dimaksud arbiter adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambing dengan yang dilambangkannya.
Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari symbol. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa, misalnya kata, adalah symbol atau lambang.
Tanda-tanda itu adalah sinyal gerak isyarat (gesture), gejala, kode, indeks, dan ikon. Yang dimaksud dengan sinyal atau isyarat adalah tanda yang disengaja yang dibuat oleh pemberi sinyal agar si penerima sinyal melakukan sesuatu.
3. Bahasa adalah bunyi
Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan dengan kata suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara.
Bunyi bahasa atau bunyi uajaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”.
4. Bahasa itu bermakna
Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide, atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lebih umum dikatakan lambang bunyi tersebut tidak punya referen, tidak punya rujukan. Makna yang berkenaan dengan morfem dan kata disebut makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatic, atau makna konteks.
5. Bahasa itu arbiter
Kata arbiter diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut significant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh signifiant.
6. Bahasa itu konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbiter, tetapi penerimaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu yang bersifat konfensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konfensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Jadi kalau kearbiteran bahasa pada hubungan antara lambanag-lamabang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya, maka kekonfensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya.
7. Bahasa itu produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif “ banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan” lalu, kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsure-unsur itu terbatas, tapi dengan unsur-unsur dengan jumlahny ayng terbatas terdapat di luar satuan-satuan bahasa yang jumlahnya yang tidak terbatas, meski secara relative sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa.
Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jmumlah yang dapat dibuat. Dengan kosa kata yang menurut Kamus Besar Huruf Bahasa Indonesia hanya berjumlah lebih kurang 60.000 buah, kita dapat membuat kalimat bahasa Indonesia yang mungkin puluhan juta banyaknya, termasuk juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada atau pernah dibuat orang.
Keproduktifan bahasa memang ada batasnya dalam hal ini dapat dibedakan adanya dua macam keterbatasan, yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidak laziman atau kebelum laziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat langue keproduktifan itu dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku.
8. Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik., maka artinya, setiap bahasa mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi , sistem pembetukkan kata, sistem pembentukkan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikkan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya, kalau pada kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna itu tetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat.
9. Bahasa itu universal
Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau cirri masing-masing, bahasa itu bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di Dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang biasa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain.
Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vocal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan. Bukti dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang maknany kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, bagaimana satuan-satuan itu terbentuk mungkin tidak sama. Kalau pembentukan itu bersifat khas, hanya dimiliki sebuah bahasa maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa. Kalau ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu hukum atau satu golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal dan keunikan rumpun atau sub rumpun bahasa tersebut.
Ada juga yang mengatakan bahwa ciri umum yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun atau sub rumpun, atau juga dimiliki oleh sebagian besar bahasa-bahasa yang ada di Dunia ini sebagai ciri setengah universal. Kalau dimiliki oleh semua bahasa yang ada di Dunia ini beru bisa disebut universal.
10. Bahasa itu dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak perbah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Malah dalam bermimpi pun manusia menggunakan bahasa.
Karena keterkaitan dan keterikatan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya dalam manusia nya kegiatan manusia tidak tetap dan tidak berubah, maka bahasa itu juda menjadoi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahas itu disebut dinamis.
Perubahahan yang paling jelas, dan paling banyak adalah pada bidang leksikon dan semantik. Barang kali, hamper setiap saat ada kata-kata baru muncul sebagai akibat perubahan dan ilmu, atau ada kata-kata lama yang muncul dengan makna baru. Hal ini juga dipahami, karen kata sebagai satuan bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu konsep yang ada dalam masyarakat bahasa. Dengan terjadinya perkembangan kebuidayaan, perkembang ilmu dan tekhnologi, tentu bermunculan konsep-konsep baru, yang tentunya disertai wadah penampungnya, yaitu kata-kata atau istilah-istilah baru.
Perubahan dalam bahasa ini dapat juga bukan terjadi berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagaio laasan sosial dan politik menyebabkan orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasanya, lalu menggunakan bahasa lain. Di Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang telah ditinggalkan para penuturnya terutaam dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus menurus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa yang hanya ada beradadalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11.Bahasa itu bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Yang termasuk dalam masyarakat bahsa adalah mereka merasa menggunakan bahasa yang sama. Jadi, kalau disebut masyarakat bahasa Indonesia adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia.
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari ber bagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam, dimana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar.
Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing. Kalau kita banyak membaca karangan orang yang banyak menulis, misalnya, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamingway, atau Mark twain , maka kita akan dapat mengenali ciri khas atau idiolek pengarang-pengarang itu.
Dialek adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional , dialek area, atau dialek geografi. Sedangkan variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu disebut dialek sosial atau sosiolek.
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan pemakaiannya dapat dibedakan adanya ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa jujrnalistik, ragam bahasa sastra, ragam bahasa militer, dan ragam bahasa hukum.
12. Bahasa itu manusiawi
Kalau kita menyimak kembali cirri-ciri bahasa, yang sudah dibicarakan dimuka, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya, bahkan juga dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun, alat komunikasinya tidaiklah sama dengan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa.
Dari penelitian para pakar terhadap alat komunikasi binatang bisa disimpulkan bahwa satu-satuan komunikasi yang dimiliki binatang-binatang itu bersifat tetap.sebetulnya yang membuat alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, produktif dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, berbeda dengan alat komunikasi binatang, yang hanya itu-itu saja dan statis , tidak dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah terletak pada bahasa itu dan alat komunikasi binatang itu, melainkan pada perbedaan besar hakikat manusia dan hakikat binatang. Manusia sering disebut-sebut sebagai homosapiens makhluk yang berpikir, homososio makhluk yang bermasyarakat, homofabel makhluk pencipta alat-alat dan juga animalrasionale makhluk rasional yang beerakal budi. Maka dengan segala macam kelebihannya itu jelas manusia dapat memikirkan apa saja yang lalu, yang kini, dan yang masih akan datang, serta menyampaikannya kepada orang lain melalui alat komunikasinya, yaitu bahasa. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa alat komunikasi manusia yang namanya bahasa, adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.

3.1.      Kesimpulan
        
         Ludwig Wittgenstein adalah seorang tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, maka Pada era Wittgenstein II, di tandai dengan karyanya Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif. Suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).Dalam bahasa logika itu, terdapat tiga aspek mendasar yaitu:Teori Gambar,atomisme logis,konsep formal dan konsep nyata.
            Ada dua fase pokok yang membedakan pemahaman antara Wittgenstein II  dengan Wittgenstein I yaitu:Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) dan Tata permainan bahasa (language game).Dalam tata permainan bahasa pemikiran Wittgenstein sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”